JAKARTA – Bangsa ini menghadapi situasi yang sangat berat. Sistem norma mengalami guncangan besar. Penyebabnya, bisa karena pengaruh globalisasi, bisa juga karena kehendak masyarakat saat ini berubah setelah era Orde Baru.
“Contohnya dalam sistem bernegara. Kita punya konstitusi sebagai kesepakatan paling tinggi dalam menyelenggarakan kekuasaan negara. Konstitusi sekarang ini berubah 300 persen. Kalau UUD 1945 yang kita warisi dulu jumlah ayatnya ada 71 butir dan jumlah pasalnya 37. Sekarang dalam waktu hanya 4 tahun, mengalami empat kali perubahan. Jumlah ayatnya ada 177 ayat. Kalau kita periksa dengan sungguh-sungguh, ayat-ayat UUD 1945 yang tidak berubah itu hanya tinggal 25 ayat. Selebihnya ayat baru semua,” jelas ketua DKPP Jimly Asshiddiqie.
Dia menerangkan, perubahan norma hukum yang drastis tersebut memberikan efek terhadap sistem norma turunannya. UU harus berubah, PP berubah, peraturan menteri berubah, produksi aturan-aturan baru berubah, apalagi Perda. Maka sistem norma berubah besar-besaran.
“Yang menjadi masalah atas perubahan itu, norma tersebut tidak segera langsung bisa efektif. Norma yang lama sudah kita tinggalkan, norma baru belum efektif. Maka itulah kita saksikan sistem norma hukum ini tidak berfungsi dengan baik. Kita menghadapi satu situasi anomi, norma lama tidak berlaku norma baru belum efektif. Maka ada keadaan anorma atau anormi, seakan-akan tidak ada normanya. Maka, bolak-balik logika hukum kita. Orang baik masuk penjara dan penjahat tertawa-tawa. Dan orang pun terus berdebat mengenai hukum titik dan komanya tanpa memahami roh keadilan di dalamnya,” imbuhnya.
Pendekatan hukum pun sekarang ini belum tentu menegakan keadilan. Roh keadilan dan hukum sebagai jasadnya, tidak nyambung. Hal ini disebabkan karena struktur ketidakadilan yang kian melebar. Kebebasan contohnya. Kebebasan itu paling banyak dinikmati oleh kaum elit. Di bidang politik, hanya elit politik yang menikamati kebebasan. Yang di bawah tidak bisa menikmati kebebasan.
“Akibatnya elit politik itu cenderung menyalahgunakannya. Yang elit semakin elit dan yang tidak berdaya semakin tidak berdaya. Indikasinya, di bidang politik muncul oligarki atau politik dinasti. Ini struktur yang makin timpang,” jelas pakar hukum tata negara itu.
Di bidang ekonomi juga sama. Kebebasan di bidang ekonomi juga dinikmati kaum elit. Sehingga yang kaya semakin kaya, dan miskin semakin melarat. Meskipun pada kenyatannya ekonomi bangsa ini berkembang tetapi gini ratio meningkat. Ini ciri dari kesenjangan.
“Kalau waktu akhir Orde Baru gini ratio 0,35 sekarang 0,41 gini ratio-nya. Ini menunjukkan adanya ketimpangan. Orang yang mendapatkan penghasilan Rp500 ribu per bulan banyak sekali, belum lagi penganggur. Tapi yang mendapat penghasilan Rp500 juta per bulan pun banyak sekali juga. Dirut-dirut BUMN itu rata-rata Rp10 miliar dalam satu tahun. Take home pay sah seauai dengan peraturan perundangan-perundangan. Apalagi dirut yang swasta,” bebernya.
Menurut kriteria ILO, sambung Jimly, ciri penghasilan yang adil adalah gaji tertinggi dan gaji terendah itu tidak boleh lebih dari 1 berbanding 7. Kalau seorang presiden direktur memiliki penghasilan Rp 7 juta, maka gaji tukang sapu tidak boleh rendah dari Rp1 juta. Di negara maju, 1 berbanding puluhan. Misalnya penghasilan tukang jaga toko, satu banding puluhan dengan penghasilan seorang senator.
“Bahkan di Eropa, Amerika, Australia para penganggur bisa punya penghasilan tetap. Dan bisa menjadi turis rutin ke Bali. Artinya tingkat kemakmuran semakin merata,” papar dia.
Maka, lanjut dia, terkait permasalahan pada bangsa ini yang terjadi adalah sesauatu yang legal, sesuatu yang halal, sesuatu yang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan tidak serta merta identik dengan keadilan. Untuk itu, dia berpadangan, bangsa ini harus melihat persoalan lebih total untuk memperbaiki persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum mesti dibenahi.
“Kita harus evaluasi mengenai pemahaman hukum, pemahamanan kita mengenai negara hukum. Hukum itu hanya salah satu sistem norma. Oleh karena itu kita ingin membicarakan etika. Saat ini perlunya bersinergi antara hukum dan etika. Hubungan norma agama dan etika bukan lagi hubungan atas bawah, mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Mestinya hukum itu jasad, roh adalah etika. Etika harus menjadi rohnya,” tutup dia.