Dalam budaya masyarakat agraris, padi merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak ditanam karena menjadi salah satu makanan pokok. Salah satu alat menumbuk padi tradisional yang masih banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, terutama di pulau Jawa adalah lesung. Lesung adalah alat penumpuk padi yang terbuat dari bahan kayu, berbentuk memanjang, serta memiliki lubang di sepanjang penampang atasnya. Didalam lubang inilah padi-padi yang telah dipanen akan dipukul-pukul menggunakan batang kayu yang disebut alu untuk kemudian dipisahkan antara beras dan kulit arinya.
Baca Juga: Akses dan Harga Tiket Masuk Goa Gong Pacitan Terbaru
Tentang Kotekan
Sebagai salah satu daerah penghasil padi, pacitan tidak lepas dari budaya menumbuk padi dengan lesung. Secara umum bagi para petani, bekerja mengolah ladang adalah pekerjaan laki-laki, sementara para perempuan bertugas untuk mengupasi hasil panen dengan lesung ini. Sebuah lesung dapat digunakan secara bersamaan oleh 4-8 orang. Pada proses inilah interaksi antar kaum perempuan yang sedang bekerja bersama terjalin. Tidak hanya mengobrol, namun dari sinilah alunan-alunan dari suara lesung yang dipukul secara teratur menciptakan harmoni bunyi tersendiri. Kebiasaan ini lambat laun berkembang dengan tambahan tembang-tembang yang dinyanyikan sembari bekerja menumbuk padi. Pada mulanya, kebiasaan ini menjadi sekadar pengusir lelah dan jenuh, namun berkembang menjadi sebuah seni budaya daerah.
Baca Juga: Candi Borobudur, Akses dan Harga Tiket Masuk Terbaru
Kotekan lesung di Pacitan sendiri dikatakan berawal dari daerah kecamatan Pringkuku. Budaya kotekan lesung berkembang menjadi suatu bentuk simbolisasi dari gotong royong dan bentuk kehidupan masyarakat agraris yang menjunjung kerjasama. Saat ini budaya kotek lesung tidak hanya berkembang di kalangan petani pedesaan, namun juga menjadi tradisi yang dilestarikan pada generasi muda. Namun yang disayangkan, fungsi asli dari lesung sebagai penumbuk padi tradisional telah tergeser oleh mesin-mesin penggiling padi. Akibatnya, alunan alami dari lesung-lesung yang digunakan oleh para perempuan desa ini lambat laun mulai menghilang dan tidak lagi terdengar.
Koketakan di masa kini
Dengan tujuan menjaga tradisi serta agar generasi saat ini mengenal salah satu bentuk budaya masyarakat agraris, kotekan lesung berkembang menjadi sebuah budaya seni dan musik yang mengedepankan harmonisasi dan kebersamaan. Saat ini kamu bisa menyaksikan pertunjukan-pertunjukan kesenian ini pada acara-acara adat seperti merti desa atau ketika panen raya. Tidak hanya menonjolkan dari irama lesung yang dipukul dengan tempo dan keselarasan tertentu, namun juga dipadukan dengan berbagai tembang-tembang tradisional Jawa yang tidak lekang oleh waktu. Harmonisasi suara antara suara lesung serta suara para perempuan ini membuat kotekan lesung saat ini menjadi lebih mendekat kepada masyarakat.
Baca Juga: Tempat Ngopi di Madiun Yang Hits dan Populer
Di masa modern ini, kotekan lesung mendapat tempat yang lebih untuk masyarakat lokal. Dengan dasar tujuan untuk meneruskan tradisi dan budaya, berbagai perlombaan diadakan baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Kotekan lesung seakan mendapatkan tempatnya di berbagai generasi baik anak-anak hingga dewasa, serta menjadi salah satu daya tarik pariwisata seni di Pacitan sendiri.
Jika kamu ingin menyaksikan pertunjukan lesung, kamu bisa mengunjungi Kabupaten Pacitan di bulan Februari. 19 Februari merupakan hari jadi Kabupaten Pacitan. Pada momentum ini banyak sekali kegiatan seni dan budaya diadakan untuk memperingati ulang tahun kabupaten mulai dari seni tari, pawai budaya, hingga tradisi kotekan lesung yang sering diperlombakan dan ditampilkan pada acara tahunan ini. Jika kamu berasal dari luar daerah dan hendak merasakan semarak acara ini, kamu bisa berkunjung 2-3 hari sebelum acara. Banyak penginapan dan homestay dengan harga terjangkau mulai dari 75 ribu rupiah per malam bisa kamu dapatkan. Acara ini sendiri biasanya berlangsung dalam sebuah rangkaian selama 5-7 hari.