Panas Dingin Hubungan RI-Singapura  

235355_620

                 Jakarta – Hubungan diplomatik antara Indonesia-Singapura memang pasang surut. Beberapa kali kedua negara bersitegang terkait dengan urusan banyak hal. Mulai dari asap api akibat kebakaran hutan di Riau, reklamasi dataran Singapura, hingga masalah penamaan kapal perang TNI Angkatan Laut. Berikut ini sejumlah kejadian yang membuat kedua negara bersitegang.

Bacaan Lainnya

Kasus Hotel MacDonald

Sejak pemboman Hotel Mac Donald di Orchad Road oleh Kopral Usman dan Harun pada 10 Maret 1965, hubungan Indonesia dengan Singapura memburuk. Kasus itu tak sampai ke pemutusan hubungan diplomatik. Hubungan bilateral mulai membaik pada April 1973. Saat itu pemerintah Indonesia mengirimkan undangan kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew untuk bertandang ke ke Indonesia. (Baca: TNI AL Tak Gubris Protes Singapura)

PM Lee Kuan Yew menerima undangan dan mendarat di Jakarta pada 25 Mei 1973. Kisah menarik dari lima hari kunjungan PM Lee Kuan Yew adalah ketika ia mau memberikan karangan bunga ke pusara Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Padahal, kedua orang ini yang melakukan penyerangan dan pengeboman di MacDonald itu.

Tidak diketahui alasan mengapa PM Lee Kuan Yew mau memberikan penghormatan ke Usman dan Harun. Yang jelas pada kunjungan itu juga diikuti dengan penandatanganan perjanjian batas laut antara RI dengan Singapura. Meskipun perjanjian itu penting buat kedua negara, khusus untuk Singapura menjadi modal beberapa bagian dibangun dan direklamasi. (Lihat juga : Soal Usman Harun, Singapura Langgar Piagam PBB)
Pelarangan Ekspor Pasir

Pemerintah Singapura dikagetkan dengan keluarnya larangan ekspor pasir dari Indonesia. Larangan itu berdasarkan Permendag No 02 Tahun 2007 tentang larangan ekspor pasir dan tanah. Keputusan yang ditandatangani 22 Januari 2007 mempertimbangkan beratnya kerusakan lingkungan akibat penggalian pasir di sekitar Riau.

Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo dan Menteri Pembangunan Nasional Mah Bow Tan, seperti ditulis majalah Tempo, menjadi saksi soal kerasnya parlemen Singapura mengomentari pelarangan ekspor pasir. Sin Boon Ann, seorang anggota parlemen, dengan sinis menanyakan niat baik Indonesia. “Kalau benar Indonesia peduli pada lingkungannya yang rusak akibat penggalian pasir, bisakah kita membuat mereka juga peduli pada isu asap kebakaran hutan,” ujar Sin Boon.

Anggota parlemen lainnya, Ho Geok Choo, menuduh larangan ekspor itu untuk melambatkan perekonomian Singapura. (Artikel lain: Singapura Diminta Hormati Aturan Indonesia)

Pasir dari Indonesia penting meluaskan wilayah Singapura. Kementerian Luar Negeri sendiri pada 2006 menyatakan reklamasi yang dilakukan pemerintah Singapura sudah menyebabkan daratan Singapura maju sejauh 12 kilometer dari original base line perjanjian perbatasan Indonesia-Singapura pada 1973.

Pada Year Book of Statistic Singapore up to 2006 diungkapkan bertambahnya luas wilayah Singapura memang akibat reklamasi. Awalnya pada 1960 ketika program baru berlangsung, areal Singapura masih 580 kilometer. Pada 1975 luas Singapura menjadi 596 kilometer. Dalam masterplan reklamasi yang dipunya pemerintah Singapura tahap pertama luas Singapura mencapai 774 kilometer pada 2010.

Ekstradisi Ditukar Latihan Perang

Hubungan bilateral kedua negara kembali menunjukkan keuntungan bagi Indonesia. Pada 27 April 2007 di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali, dilakukan penandatanganan perjanjian ekstradisi. Perjanjian itu diteken Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menlu Singapura George Yeo, yang disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Perjanjian berisi 31 jenis kejahatan yang dapat diekstradisi, termasuk koruptor. Banyak koruptor Indonesia bersembunyi di Singapura. Namun, itu baru perjanjian awal karena Singapura menambah syarat lainnya agar kesepakatan ekstradisi tercapai. (Baca juga: Menko Djoko: Singapura Harusnya Tak Intervensi…)

Syarat yang diminta Singapura adalah diperbolehkannya wilayah Indonesia menjadi tempat latihan perang angkatan bersenjata Singapura. Antara lain yang diminta Singapura agar tentaranya bisa berlatih selama 15 hari setiap bulan. Di lain pihak, TNI hanya memberi 4 atau 6 kali setahun.

Selain itu, Singapura meminta setiap latihan diperbolehkan mengerahkan 25 kapal dan 20 pesawat. Padahal, armada Singapura tidak mencapai jumlah itu. Indonesia langsung menyatakan melarang negara lain ikut latihan di wilayah RI. Syarat lainnya Singapura meminta bebas mengatur sendiri soal teknis latihan di pulau yang sudah ditetapkan tanpa melibatkan pihak Indonesia.

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono waktu itu menuding Singapura sengaja agar perundingan ekstradisi macet. Juwono menuding perjanjian pertahanan dan ekstradisi sejak awal memang dilandasi kesepakatan seperti Singapura memberi uang. Adapun Indonesia memberi tempat berlatih.

Dia memberi contoh, jika satu orang buron koruptor Indonesia yang bersembunyi di Singapura dapat ditarik uangnya senilai US$ 200 juta, “Baru kami kasih satu daerah latihan. Begitu seterusnya.” Tapi jika Singapura ingkar janji, kata Juwono, berarti Indonesia dibohongi. “Masak orang Padang, Bugis, Jawa mau dikadalin sama Singapura?” ujarnya kepada Tempo pada 3 Juli 2007.

Pos terkait